Jakarta, Indonesiawatch.id – Rakyat di negeri ini kerapkali disajikan kebijakan iming-iming, artinya diawal menjanjikan kenikmatan, hasilnya tetap saja kemiskinan. Desa merupakan objek yang laris manis untuk dijadikan jualan pembangunan oleh para pengambil keputusan di pusat, dengan dalih demi percepatan kesejahteraan masyarakat.
Tidak heran jika desa menjadi pusat perubahan berbagai aspek kehidupan, kecuali persoalan kemiskinan yang tetap abadi mendera masyarakat desa.
Sebagai komitmen pembangunan desa menuju Indonesia Emas, pemerintah berencana membentuk 80.000 koperasi desa merah putih.
Penggunaan jargon merah putih agar terlihat mewakili ekonomi Pancasila, tapi ironinya mekanisme yang diterapkan pada koperasi desa merah putih, kental dengan prinsip praktek ekonomi kapitalisme dan ekonomi komando dengan pendekatan Top Down.
Dana koperasi desa merah putih diambil dari dana desa sebesar 20 % pada tahun pertama, kemudian pada tahun berikutnya 20% sebagai agunan hutang ke bank pemerintah.
Sudah nampak benang merah kontradiksi dengan pokok-pokok pikiran Bung Hatta tentang koperasi yang berazaskan kekeluargaan, keterbukaan, gotong royong dan suka rela serta hanya mengejar surplus .
Skema pendanaan melalui hutang ke bank dengan jaminan 20% dana desa, memiliki kerawanan sistemik terhadap perbankan jika terjadi gagal bayar.
Tahun ini saja pembiayaan koperasi desa merah putih sebesar Rp. 71 Triliun, kemudian tahun berikutnya bank harus menggelontorkan dana sebesar Rp 14,2 Triliun sebagai hutang koperasi desa merah putih.
Lemahnya daya saing koperasi yang disebabkan oleh persoalan managemen, sumber daya manusia, permodalan dan kepercayaan publik, mengakibatkan koperasi tidak mampu menghadapi kompetitor gerai-gerai retail kelontong yang dikelola dengan managemen modern, lebih menguasai pasar dan orientasi profit.
Ada yang menarik dari koperasi desa merah putih, perencanaan bisnis dirancang dari pusat, sehingga produk koperasi memiliki keseragaman. Sementara setiap daerah memiliki perbedaan terhadap kebutuhan masyarakat, hal ini akan menciptakan kendala yang dapat menghambat kemajuan koperasi.
Penunjukan Menteri Koordinator Pangan, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal serta Menteri Koperasi, sebagai aktor penyelenggaraan koperasi desa merah putih, membuat warna koperasi desa merah putih, berpotensi tercemar oleh syahwat politik dari para juragan politik.
Pengelolaan dana besar ditangan tiga menteri yang berlatar belakang politisi dan rentan oleh praktek korupsi, memperbesar peluang kebocoran dana koperasi desa merah putih, mengalir untuk memperkuat konsolidasi parpol.
Alih-alih menjadi sentra pertumbuhan ekonomi rakyat, koperasi desa merah putih akan menjadi ajang perebutan dukungan massa partai PAN, Gerindra dan Parpol baru yang akan dibentuk Jokowi. Koperasi yang sejatinya sebagai wadah kebersamaan dan gotong royong, ditangan yang salah akan membuat stigma negative terhadap koperasi.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen