Jakarta, Indonesiawatch.id – Sejumlah pasangan calon kepala daerah, di antaranya calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Ridwan Kamil-Suswono (Rido), menyatakan akan mengajukan gugatan hasil Pilkada ke Mahkmah Konstitusi (MK).
Koordinator Tim Pemenangan Rido, Ramdan Alamsyah, pada akhir pekan kemarin, menyampaikan, pasangan Rido akan mengajukan gugatan karena banyaknya pelanggaran.
Baca juga:
Banyak Politisi Jadi Pimpinan BPK, MAKI Mau Gugat ke MK
Gugatan atau permohonan pembatalan hasil Pilkada diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi calon kepala daerah (cakada), di antaranya syarat jumlah selisih suara untuk bisa mengajukan permohonan pembatalan ke MK. Lantas, berapa syarat selisih jumlah suaranya?
Pasal 158 UU tersebut secara detail mengatur syarat jumlah suara tersebut. Isi pasal ini, yakni:
(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan
d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.
(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara Kabupaten/Kota.
Paslon cakada bisa mengajukan permohonan pembatalan hasil Pilkada ke MK paling lama atau maksimal 3 hari kerja sejak KPU setempat mengumumkan penetapan hasil Pilkada KPU setempat.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H.; dan mantan Ketua Bawaslu RI yang advokat dan Konsultan hukum Pemilu, Abhan, S.H., M.H.; dalam Training Program bertajuk “Teknik dan Strategi Pendampingan Hukum Calon Kepala Daerah dalam Pilkada” gelaran Peradi, menjelaskan soal sengketa Pilkada di MK.
Fahri Bachmid menjelaskan tentang perselisihan hasil atau angka perolehan suara yang harus diterangkan dalam permohonan secara lengkap atau komprehensif dan detail.
“Lalu variabel-variabel yang memengaruhi angka itu apa? Apakah ada markup suara atau proses yang tidak benar karena money politics dan sebagainya,” kata dia.
Fahri Bachmid melanjutkan, dalil itu harus kuat dan tajam serta ditopang argumentasi dan alat-alat bukti yang benar. Kalau itu dipenuhi, pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) akan ditindaklanjuti MK.
Adapun Abhan menyampaikan strategi penanganan perkara sengketa hasil pilkada, yakni pertimbangan ketentuan ambang batas pengajuan gugatan ke MK sebagaimana Pasal 156.
Pada Pilkada 2020, setidaknya ada 4 putusan MK yang mengabaikan ambang batas, yakni perkara Pilkada Boven Digoel, Nabire, Yalimo, dan Banjarmasin.
Menurutnya, meski dalam beberapa perkara MK mengabaikannya, namun kalau bisa menyusun argumentasi permohonan pelanggaran yang substantif, tidak menutup kemungkinan akan dikabulkan.
Selanjutnya, ketelitian pada persoalan adanya selisih hasil perolehan suara pada setiap TPS atau rekapitulasi pada setiap jenjang rekapitulasi.
“Inventarisir semua laporan atau tindak lanjut dari Bawaslu dalam merespons laporan,” ujarnya.
[red]