Jakarta, Indonesiawatch.id – Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, tanggal 9 September 2024 membahas silang pendapat perubahan redaksional Pasal 15. Draf revisi Undang-Undang Kementerian Negara ini diusulkan oleh pihak Presiden Jokowi.
Perubahan redaksional yang dimaksud tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) versi pemerintah adalah “jumlah keseluruhan kementerian yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,13 dan 14, ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggara pemerintahan oleh Presiden”.
Baca juga:
Beberapa Menteri Jokowi akan Masuk Kabinet Prabowo, Nama-nama Ini Mencuat
Sedangkan redaksi Pasal 15 versi Baleg “jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,13 dan 14, ditetapkan sesuai kebutuhan Presiden, dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan”.
Menelisik silang pendapat soal redaksional revisi Pasal 15 Undang-Undang Kementerian Negara, versi pemerintah dan Baleg, terfokus pada kata efektivitas yang dimaknai sebagai pembatasan jumlah kementerian.
Sementara jika mencermati redaksi revisi Pasal 15 versi pemerintah, tersirat adanya politik transaksional, dihadapkan pada koalisi gemuk KIP plus yang muncul paska Pemilu 2024.
Baca juga:
Pengamat: Kabinet Prabowo Bakal Diisi Loyalis, Keluarga Dekat, dan Orang Gerindra
Sejalan dengan rencana Presiden terpilih Prabowo akan menambah kementerian dari 34 menjadi 41, diprediksi setelah terbentuk koalisi KIM plus, tidak menutup kemungkinan akan terjadi penambahan jumlah kementerian lebih dari 41. Hal ini terkait dengan perubahan redaksi revisi Pasal 15 versi pemerintah, menghilangkan kata efektivitas.
Ditengah kondisi keuangan Negara yang carut marut, tentunya penambahan jumlah kementerian, akan menjadi beban keuangan negara yang tidak kecil, namun tidak memberi kepastian terhadap efektivitas dan efesiensi kerja kementerian.
Di sisi lain penambahan jumlah kementerian jika didasarkan oleh kepentingan politik transaksional, akan melahirkan politik kekuasaan yang terpusat ditangan Presiden, hal ini tentunya akan semakin mengganggu pembangunan demokrasi yang saat ini sudah terpuruk.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen