Jakarta, Indonesiawatch.id – Rentetan dugaan penggeledahan kantor hingga rumah beberapa direksi PT Pertamina (Persero) dan subholdingnya oleh Kejaksaan Agung, mengindikasikan bahwa mafia migas dan pemburu rente impor BBM masih berseliweran di lingkungan kuda laut.
Menurut informasi terbaru, pada hari Senin (9/12) subuh Tim Kejagung telah menggeladah beberapa rumah direksi holding dan subholding Pertamina.
Baca juga:
Kejagung Diduga Geledah Rumah Direksi Pertamina dan Subholding Subuh-Subuh?
Eks Anggota Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi menilai Pertamina kerap menjadi sasaran pemburu rente impor minyak mentah dan BBM. Berkaca pada hasil temuan Tim Reformasi Mafia Migas tahun 2015, kata Fahmy, ada beberapa modus para mafia mengeruk rente.
“Dalam impor BBM, modusnya pertama markup untuk blending. Jadi untuk BBM Pertalite masih di-blending. Sehingga itu rawan untuk di mark up,” ujarnya kepada Indonesiawatch.id, (13/12).
Kedua, sambungnya, dalam proses lelang alias bidding. ”Memang mereka [Pertamina] bilang pelelangan secara online. Tapi diduga ada yang membocorkan informasi berapa harganya, HPS. Sehingga itu yang menimbulkan potensi korupsi, dan bisa merugikan negara,” katanya.
Fahmy mengatakan, tantangan dalam pengungkapan kasus mafia migas tahun 2015, adalah letak kantor Petral, anak usaha Pertamina yang melaksanakan jual beli minyak, yang berada di Singapura.
“Kalau dulu itu yang mengendalikan Petral itu ISC (Integrated Supply Chain). Dan setelah Petral dibubarkan, tampaknya memang korupsi untuk impor BBM itu diduga masih terjadi di ISC,” katanya.
Menurut Fahmy, jika benar Kejagung sedang mengusut kasus impor BBM dan minyak mentah di Pertamina, artinya praktik korupsi dan mafia migas untuk impor BBM, masih rawan dilakukan. “Potensi korupsi pada impor BBM, sangat besar. Karena jumlah impornya besar sekali,” ujarnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sepanjang 2023, Indonesia masih mengimpor minyak mencapai 297 juta barel. Terdiri dari 129 juta barel impor dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta impor Bahan Bakar Minyak (BBM).
Fahmy menilai banyak persoalan dugaan praktik korupsi di Pertamina dan pengungkapan kasusnya cukup sulit. Pasalnya, sering melibatkan orang-orang kuat dan aliran uangnya ke banyak pihak.
“Saya kira dari dulu begitu. Jadi kenapa tidak mudah untuk penegakan hukumnya, karena selain tertutup, mafia migas itu sangat kuat sekali. Bekingnya sampai langit ketujuh, sehingga tidak tersentuh,” ujarnya.
Baca juga:
Ini 5 Kasus Korupsi Pertamina Diusut KPK, Polri, dan Kejagung
“Kalau dulu kesulitannya Petral itu ada di Singapura. Nah kalau sekarang ada di PPN dan kilang di indonesia, harusnya lebih mudah. Tergantung komitmennya. Apakah itu ditindak atau dibiarkan?” Fahmy menantang Direktur Utama baru Pertamina dan Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, jika Presiden Prabowo memang serius ingin menyelesaikan penyakit laten korupsi di Indonesia, salah satunya bisa dimulai dari Pertamina.
“Kalau komitmen Prabowo itu sangat kuat unutk memberantas korupsi, saya kira ini bisa dimulai dari Pertamina, yang selama ini tidak tersentuh penegak hukum karena bekingnyna sangat kuat. Kalau Kejaksaan Agung bisa masuk dan mengusutnya, saya kira yang lainnya lebih mudah,” ujarnya.
Fahmy berharap Prabowo bisa memulai pemerintahannya dengan membersihkan Pertamina dari mafia migas.
“Di era Prabowo ini, saya berharap tinggi, dan yang bisa memulai itu RI-1. Pada tahun 2015 ketika awal Jokowi jadi presiden, dia punya komitemen yang kuat, termasuk mendukung pembubaran Petral. Walaupun seiring berjalan waktu, tidak ada lagi komitmen dari Jokowi,” katanya.
[red]