Jakarta, Indonesiawatch.id – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan gugatan tentang kepastian sanksi pelanggaran netralitas pejabat negara, pejabat daerah dan TNI/Polri dalam Pilkada, dikabulkan. Para apparat TNI/Polri dan pejabat daerah dapat dipidana jika tidak netral di Pilkada. Putusan tersebut tertuang dalam keputusan sidang MK dengan perkara 136/PUU-XXII/2024.
Adapun pasal yang diujimaterikan adalah Pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walkota Menjadi Undang-Undang.
Baca juga:
Ketua KPU Pastikan Pilkada 2024 akan Ikuti Seluruh Putusan MK
Isi pasal tersebut sebelumnya adalah, setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Lalu setelah diputuskan MK berubah menjadi, setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Dalam pertimbangannya, MK menilai netralitas aparatur negara, baik sipil maupun milter, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. MK berpandangan, dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan serta hak warga negara untuk mengikuti pikada sesuai prinsip jujur dan adil.
“Netralitas aparatur negara akan meningkatan kualitas demokrasi serta memastikan pikada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu,” ujar Hakim MK Arief Hidayat.
[red]