Jakarta, Indonesiawatch.id – Pasca-Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) di Cali, Kolombia, pada 1 November lalu, Indonesia harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi UU.
Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII), Cindy Julianty, mengatakan, pengesahan RUU Masyarakat Adat ini kian mendesak.
Baca juga:
Tokoh Adat Kamoro Serukan Pilkada Damai di Mimika, Tangkis Hoaks dan Provokasi
Pasalnya, kata Cindy dalam keterangan pada Minggu, (8/12), pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
“Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat,” ujarnya.
Lebih lanjut Cindy dalam diskusi bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global.
“Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan,” katanya dalam diskusi di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada pekan ini.
Menurutnya, konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat. Database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi.
“Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” katanya.
Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa, Bimantara Adjie Wardhana, mengatakan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif.
Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP.
“Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.
Desakan agar Pemerintahan Prabowo Subianto dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat ini terus dikumandangkan, di antaranya oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, dan ICEL.
Kemudian, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, dan Forest Watch Indonesia (FWI).
Selanjutnya, Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Anggot lainnya yakni SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, dan EcoAdat.
[red]