Jakarta, Indonesiawatch.id – Co-Founder Paramadina Public Policy, Wijayanto Samirin, mengatakan, pemilu baik Pilpres dan Pileg di Indonesia kerap menjadi ajang pencucian uang (money loundring) dana haram.
“Pilpres dan Pileg di Indonesia sering kali menjadi ajang money laundering terbesar, dengan dana besar yang tidak jelas asal-usulnya,” kata Wijayanto dalam keterangan diterima pada Senin, (9/12).
Baca juga:
Saut: Pemimpin Indonesia Prilakunya Bakal Mirip Jokowi dalam Memberantas Korupsi
Akademisi dari Universitas Paramadina, Jakarta, ini menyampaikan pernyataan saat memaparkan bahasan korelasi antara politik dan ekonomi dalam konteks demokrasi Indonesia yang mahal.
“Demokrasi yang mahal ini justru menciptakan ekonomi biaya tinggi hingga mencapai Rp140 triliun,” ujarnya dalam Orasi Kebangsaan bertajuk “Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di Pascasarjana Universitas Parmadina, Jakarta.
Wijayanto menjelaskan, fenomen ini memunculkan risiko biaya ekonomi yang super tinggi (high-cost economy) dan potensi pencucian uang dalam skala besar.
“Sistem politik yang terlalu mahal pada akhirnya membuka celah bagi investor untuk meminta imbalan berupa kebijakan yang berpihak pada mereka,” katanya.
Ia juga menegaskan, formula atau rumus korupsi, yakni corrupiton sama dengan discretion ditambah monopoli dikurangi accountability tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia karena saling berkelindannya politik dan bisnis.
“Di Indonesia, demokrasi cenderung terkonsentrasi pada eksekutif. Dengan delapan pimpinan partai politik yang menjadi anggota kabinet, sidang kabinet hampir menyerupai pleno DPR,” tandasnya.
[red]