Jakarta, Indonesiawatch.id – Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas, mengatakan, pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.
Ia menjelaskan, meskipun Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.
Baca juga:
Agar Kejagung Tetap Dipercaya, Jaksa Agung Baru harus Tukang Sikat Koruptor & Karier
“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR,” ujarnya dalam keterangan pes dikutip pada Selasa, (24/12).
Artinya, lanjut Supratman, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi tersebut.
Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menjelaskan, pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.
“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak,” tandasnya.
Menurut dia, karena yang paling penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal.
“Presiden sama sekali tidak menganggap [pengampunan koruptor] dilakukan serta merta,” tandasnya.
Supratman mengungkapkan, pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, namun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada Presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.
Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut.
Pascaamandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden ini tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.
“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tegas Supratman.
Selain Presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui denda damai.
Menurutnya, Presiden maupun Kejagung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan. Kewenangan Kejagung ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan RI yang baru.
“Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo.
“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” ujarnya.
[red]