Jakarta, Indonesiawatch.id – 20 Oktober 2024 awal rezim Prabowo Subianto. Panggung politik Indonesia pun diramaikan oleh pergantian kepemimpinan nasional, dari Jokowi kepada Prabowo. Fenomena pergantian kepala negara kali ini, menjadi penantian panjang sebagian besar rakyat Indonesia yang rindu akan pemimpin bangsa dengan kapasitas negarawan.
Dua periode kepemimpinan Jokowi, diawali oleh kentalnya politik pencitraan yang seakan merepresentasikan pemimpin merakyat, kesederhanaan dan jauh dari kesan kemewahan. Namun terjadi ironi politik, di periode kedua kekuasaan Jokowi.
Baca juga:
Mau Lengser Lusa, Jokowi Teken Perpres Asuransi Kesehatan untuk Mantan Menteri-menterinya, Pakai APBN
Kekecewaan rakyat menggulung terhadap kebijakan Jokowi yang amat mencederai rasa keadilan dan jauh dari cita-cita reformasi. Rakyat dihadapkan oleh kesulitan hidup yang semakin mencekik leher, akibat kenaikan berbagai kebutuhan pokok.
Jokowi justru memaksakan pemberlakuan UU Omnibus Law yang memicu gelombang aksi unjuk rasa buruh dan elemen masyarakat. Jokowi hanya diam, ketika terjadi penggusuran tanah rakyat di wadas dan rempang, oleh kekuatan pemodal besar.
Tidak berhenti sampai disitu, Jokowi juga mengoyak konstitusi demi kepentingan anaknya , untuk lolos mengikuti Pilpres. Akibatnya Pemilu 2024 telah tercederai sejak awal, kemudian diperburuk oleh penyelenggara Pemilu.
Sama sekali tidak mengedepankan azas jurdil, sehingga sudah dapat ditebak siapa pasangan capres yang akan memenangkan Pilpres 2024. Pemilu 2024 tidak lagi dimaknai sebagai pesta demokrasi, tapi lebih merefleksikan perhelatan juragan politik dan kenduri oligarki.
Keberhasilan Pasangan Prabowo-Gibran merebut kursi Presiden/Wapres RI, tentunya sebuah sukses politik yang dibayangi oleh carut marut penyelenggaraan Pemilu dan campur tangan kekuasaan jokowi sebagai Presiden.
Fenomena bayang-bayang cawe-cawe Jokowi dalam pemerintahan Prabowo, sangat beralasan jika melihat potret pemilu 2024 dan postur kabinet Prabowo yang masih didominasi oleh menteri era Jokowi.
Belum lagi peran oligarki pengusung Prabowo untuk menjadi Presiden, tentunya tidak ada makan siang gratis, dihadapkan oleh prilaku oligarki yang amat profit oriented.
Sementara pemerintahan Prabowo, sudah mengambil ancang –ancang, untuk menghindari keberadaan oposisi sebagai alat kendali dan pengawasan jalannya roda pemerintahan. Hal ini menjadi sinyal, akan terjadi sentralistik kekuasaan ditangan Presiden.
Dari beberapa indikator diatas, tentunya menjadi kecemasan rakyat yang menaruh harapan dan tingkat kepercayaan sangat tinggi 80 %, terhadap kemadirian pemerintahan Prabowo, untuk keluar dari carut marut warisan era pemerintahan Jokowi.
Terlepas dari itu semua, mencermati pidato kenegaraan pertama Presiden Prabowo, menyinggung kondisi ekonomi Indonesia, masih banyak masyarakat hidup digaris kemiskinan, nampaknya menjadi angin segar, bagi rakyat kecil yang selama ini melulu menjadi objek kekuasaan dan selalu tersisih dari proses pembangunan nasional.
Mari kita tunggu implementasi dari trademark “Pemimpin berjiwa nasionalis” yang melekat pada diri Prabowo.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen