Jakarta, Indonesiawatch.id – Aksi korporasi merger dan akuisisi (M&A) lapangan minyak dan gas (Migas), seringkali dilakukan untuk memitigasi resiko yang dapat mengancam bisnis migas. Menurut eks Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, biasanya ada banyak motivasi bagi sebuah perusahaan migas melakukan strategi M&A.
Diantaranya adalah prediksi harga minyak ke depan yang tidak sesuai harapan. Dengan menjual aset lapangan migas, penjual bisa terhindar dari potensi rugi di masa depan.
Baca juga:
Ini Pejabat Pertamina yang Pernah Dipecat Jokowi Karena Melanggar TKDN
“Jika lapangan tersebut tetap dioperasikan, maka ada kemungkinan pendapatannya tidak mampu menutup biaya operasi,” ujar Arcandra Tahar, dalam keterangan resminya, (06/09).
Sementara bagi pembeli, kata Arcandra, dengan mengakuisisi aset tersebut, maka ada kemungkinan bisa mendapat keuntungan. “Dengan memanfaatkan pengalaman dan teknologi yang lebih baik dari penjual, misalnya,” katanya.
Terkadang, menurut Arcandra, prediksi harga minyak ke depan bisa saja meleset. Jika harga lebih tinggi dari perkiraan, maka penjual mendapatkan keuntungan lebih cepat tanpa harus bersusah payah untuk melakukan kegiatan produksi yang punya resiko kegagalan.
Baca juga:
SKK Migas & KESDM Terus Pantau Komitmen TKDN KKKS Hulu Migas
“Lalu kenapa pembeli mau mengakuisisi aset ini kalau keuntungannya sudah diambil oleh penjual? Disinilah peran pembeli dalam mengevaluasi aset harus cermat, terukur dan teliti,” ujarnya.
Caranya, sambung Arcandra, proses due diligence (DD) harus dilakukan tidak saja dari aspek finansial, tetapi juga aspek teknikal. Seperti mengakaji potensi dari sumber daya migas yang belum dimasukan ke dalam harga pembelian.
“Atau disebut juga dengan upside potensial. Dengan adanya potensi sumber daya ini maka penjual berharap akan ada keuntungan di masa depan kalau upside potensial dikelola dengan baik,” katanya.
Menurut Arcandra, pembeli juga harus cerdas dalam bernegosiasi dengan penjual agar potensi keuntungan bisa dibagi dengan pembeli. Misalnya cadangan lapangan migas yang tersisa adalah 50 juta barrel of oil equivalent (boe).
Kemudian asumsi harga minyak ke depan disepakati sebesar USD 70 per barrel. “Maka Net Present Value (NPV) untuk produksi ke depan dengan discount rate 10% misalnya menjadi USD 400 juta,” simulasi Arcandra.
Baca juga:
Diusut KPK Sejak Lama, Kasus Akuisisi Maurel & Prom oleh Pertamina Ternyata Masih Penyelidikan
Menurut Arcandra, penjual biasanya berusaha untuk menawarkan aset ini minimal dengan harga USD 400 juta. Sebaliknya pembeli akan berusaha bernegosiasi dengan harga yang lebih rendah dari USD 400 juta.
“Kalau misalnya terjadi kesepakatan di USD 300 juta, maka pembeli punya potrensi keuntungan sebesar USD 100 juta,” katanya.
Arcandra meyakini, tidak jarang penjual menawarkan asetnya dengan harga di atas USD 400 juta. Karena upside potensial dari sumber daya yang ada ikut dimasukkan sebagai potensi pendapatan di masa datang.
“Inilah yang kita sebut membeli dengan harga premium atau ada tambahan harga diatas harga wajar yang dikeluarkan pembeli,” ujarnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya