Jakarta, Indonesiawatch.id – Mantan pejabat PT Timah, Alwin Albar, yang baru ditangkap Kejagung di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, segera disidangkan karena ulahnya dalam korupsi timah Rp300 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, Kamis, (5/12), menyampaikan ulah Alwin Albar dalam kasus korupsi dalam Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk Tahun 2015–2022.
Baja juga:
Kejagung Tangkap Mantan Pejabat PT Timah di Bandara Soetta
Menurut Harli, ulah Alwin Albar dalam kasus korupsi timah tersebut ketika menjabat Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk tahun 2017–2020.
Dia bersama-sama dengan terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk dan Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan mengeluarkan kebijakan.
“Kebijakannya untuk tidak melakukan penambangan sendiri di WIUP,” ujarnya.
Guna mendapatkan pasokan, PT Antam membeli bijih timah dari penambangan ilegal yang melakukan penambangan di wilayah IUP PT Timah Tbk menggunakan mitra jasa penambangan dan mitra borongan pengangkutan dengan metode jemput bola serta pengaman aset.
Namun pada kenyataanya, PT Timah Tbk melakukan pembelian bijih timah yang ditambang dari wilayah IUP-nya sendiri oleh penambang ilegal maupun kolektor timah ilegal di Provinsi Bangka Belitung (Babel).
Selanjutnya, pada tahun 2018, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak menerbitkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) smelter swasta.
Sejumlah smelter swasta itu merupakan kompetitor PT Timah Tbk yang juga memperoleh sebagian bahan baku dari penambang ilegal maupun kolektor timah di Wilayah IUP PT Timah Tbk.
Menyiasati hal itu, tersangka Alwin Albar bersama terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra melakukan permufakatan jahat dengan terdakwa Harvey Moeis, Robert Indarto, Suwito Gunawan, Fandi Lingga, Hendry Lie dan Tamron alias Aon.
“[Permufakatan jahat] dengan cara seolah-olah bekerja sama dalam pemurnian dan pelogaman timah,” katanya.
Akan tetapi kenyatanya mereka membeli bijih timah dari penambang ilegal melalui 12 perusahaan boneka yang terafiliasi dengan PT Refined Bangka Tin, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan CV Venus Inti Perkasa.
Harli mengungkapkan, selain itu, biaya pemurnian dan pelogaman yang disepakati sebesar US$3700–US$4000 lebih tinggi dari biaya yang biasanya dikeluarkan oleh PT Timah Tbk yang berkisar antara US$1000–US$1500 per metrik ton.
“Akibat perbuatan tersebut negara dirugikan Rp300.003.263.938.131,14 (Rp300 triliun),” katanya.