Menu

Dark Mode
Jejak Dua Tokoh Nasional di Era SBY, Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina Alat AI Buatan Anak Bangsa Ini, Bisa Cegah Boncosnya Asuransi Jiwa Laut Direklamasi, Rel Diutangi Bapak Jaksa Agung Patuhi Perintah Presiden, Sikat Direksi BUMN yang Seperti Raja Dilema Sentralisasi Kekuasaan dan Ancaman Disintegrasi di Era Prabowo Ketika Polri Jadi Parcok: Krisis Etika dan Bayang Kekuasaan

Politik

Jegal Anies, Manuver KIM di Pilkada Jakarta

Avatarbadge-check


					Pemerhati Politik Ray Rangkuti (Doc. Antaranews) Perbesar

Pemerhati Politik Ray Rangkuti (Doc. Antaranews)

Jakarta, Indonesiawatch.id – Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta semakin panas dan menunjukkan dinamika yang menarik. Teranyar, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus—gabungan partai politik (parpol) pengusung Prabowo di Pilpres 2024 ditambah sejumlah partai lainnya—berkonsolidasi memajukan mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta.

KIM yang dimotori Golkar, Gerindra, PAN, dan Demokrat diwacanakan merangkul parpol lain dalam pertarungan Pilkada di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Sejumlah partai yang dirayu masuk KIM Plus di antaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan partai NasDem.

PKS mempertimbangkan opsi bergabung dengan KIM Plus di Pilkada Jakarta untuk memajukan Ridwan Kamil. Sebelumnya, Ridwan Kamil alias RK diprediksi akan menantang Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.

Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti berpendapat fenomena borong partai untuk pemenangan Pilkada merupakan hal yang tidak baik bagi demokrasi. “Kalau mereka (parpol) ingin memenangkan (Pilkada) di semua tempat ya boleh-boleh aja dan tidak masalah. Tapi memborong partai itu yang jadi masalah. Kalau memborong partai ya enggak sehat bagi demokrasi,” kata Ray kepada Indonesiawatch.id.

Menurutnya, perlu dikaji alasan sebuah partai berbondong-bondong mengusung calon tertentu. Padahal calon tersebut belum menjanjikan secara elektabilitas. “Di Pilkada Jakarta misalnya, elektabilitas Ridwan Kamil 10 persen tetapi kok tiba-tiba semua partai mau bersama dengan Ridwan Kamil. Tentu pertanyaannya adalah apa yang membuat partai-partai selain KIM itu kayak PKB, NasDem, dan PKS mau mendukung Ridwan Kamil padahal elektabilitasnya masih rendah,” ujar Ray.

Ray menyebut, hal tersebut menjadi anomali politik. Sebab, partai politik biasanya mengincar kemenangan dengan menjadikan hasil survei sebagai landasan pijak. “Umumnya partai politik itu mendukung [tokoh] yang elektabilitasnya tinggi, bukan yang elektabilitasnya rendah. Ini kan orang berlomba-lomba mendukung calon yang elektabilitasnya masih rendah, ada apa?” tuturnya.

Dirinya juga mempertanyakan langkah “balik badan” PKS meninggalkan Anies di Pilkada Jakarta. Terlebih, Anies sebelumnya dikenal sebagai bestie dari mantan Gubernur Jakarta tersebut. Ray menduga perubahan sikap PKS disebabkan karena partai dakwah tengah melakukan pedekate politik dengan rezim pemerintahan baru yang bargaining-nya mungkin berupa tawaran menteri di kabinet.

“Ya, karena mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar jabatan gubernur. Apakah itu jabatan menteri misalnya. Kalau ada partai mau mendukung 10% dan meninggalkan yang 40% itu sepertinya ada sesuatu yang ingin didapatkan,” Ray menjelaskan.

Dirinya menyebut, fenomena borong partai di konteks Pilkada Jakarta bisa merupakan bagian dari skenario menjegal Anies Baswedan. “Bisa implikasinya Anies enggak mendapat kursi. Itu implikasi tetapi itu bisa jadi bagian dari skenario. Kalau Anies tetap ikut di pencalonan ini, seberapa besarpun partai politik pendukung RK, dia berpotensi tetap kalah. Makanya harus dibuat skenario Anies jangan ikut (Pilkada),” ujarnya.

Terkait langkah PDI Perjuangan (PDIP), Ray memprediksi partai banteng moncong putih akan mempertimbangkan dua opsi. Pertama, berkoalisi dan membangun kerja sama politik dengan Anies Bawedan. Kedua, PDIP tidak mengusung atau mencalonkan siapapun di Pilkada Jakarta.

“Bisa berkoalisi dengan Anies Baswedan tapi potensial tidak dapat dukungan dari partai politik lain. Alias PDIP akan gagal mencalonkan Anies. Atau yang kedua, dia enggak nyalonin siapa-siapa,” kata Ray.

Menurutnya, opsi kedua bisa diambil PDIP dengan pertimbangan meraih simpati rakyat dan menguntungkan PDIP dalam jangka panjang. “Bisa jadi membiarkan KIM maju sendiri dan PDIP enggak nyalonin siapa-siapa. Menurut saya secara politik dia sudah menang. Karena orang melihat faktanya, karena PDIP dibiarkan sendiri di luar dengan kondisi enggak bisa mencalonkan karena kurang suara,” pungkasnya.

[red]

Berita Terbaru

Boyamin Saiman Apresiasi Penyidik PMJ, Temukan Ponsel Kacab BRI

23 September 2025 - 16:22 WIB

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Bin Saiman mencari Riza Chalid di Malaysia (Foto: Ist.)

Dilema Bayangan Jokowi yang Masih Membekas di Pemerintahan

30 August 2025 - 11:45 WIB

Serakahnomic & Tamaknomic

23 August 2025 - 14:19 WIB

Ilustrasi Serakahnomic & Tamaknomic (Gambar: istockphoto.com)

Wawancara Ketua PHRI: Efek Efisiensi APBN, Jasa Pekerja Harian Hotel & Restoran Banyak Diputus

23 August 2025 - 14:01 WIB

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) (Foto: Instagram hippindo)

Sengketa Blok Ambalat, Strategi dan Langkah Penyelesaian

22 August 2025 - 21:35 WIB

Populer Berita News Update