Jakarta, Indonesiawatch.id – Pabrik dan bisnis tekstil di Indonesia mulai berguguran dan berpotensi menciptakan masyarakat miskin baru, akibat gelombang PHK yang besar. Maklum industri tekstil merupakan padat karya yang selama ini menyerap banyak sumber daya manusia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyampaikan bahwa akar persoalan dari kehancuran industri tekstil nasional karena importasi ilegal.
Baca juga:
Setelah Sritex, Pabrik Tekstil Asia Pacific di Karawang Tutup Sementara
“Dan ini seperti direstui oleh Kementerian Keuangan, karena masuknya itu pakai sistem impor borongan kubikasi,” ujar Redma dalam Siniar Akbar Faizal Uncensored, seperti dikutip, (03/11).
Menurut Redma, praktik impor borongan yaitu barang-barang yang berbeda jenisnya dan digabung dalam satu kontainer. Seharusnya, kata Redma, setiap barang impor tersebut harus dicek kode HS masing-masing barang. Lalu dihitung bea masuknya.
“Setiap kode HS, bea masuknya beda, pajaknya 10%, kan dihitung. Nah kalau kita ngimpor satu kontainer misalkan pakaian jadi, Rp2 miliar, itu dihitung berapa PPN-nya, berapa bea masuknya,” ujarnya.
Yang jadi persoalan, katanya, banyak oknum bea cukai tidak memeriksa kode HS tersebut atau sengaja melakukannya. “Kalau pakai borongan itu, Bea Cukai tutup mata. Pokoknya masuk aja lewat jalur hijau, ya kan masuk jalur hijau, cukup bayarnya Rp200 juta. Uda selesai enggak usah pakai apa-apa,” kata Redma.
Karena itu, pakaian bekas impor yang ilegal termasuk impor kain, masuk ke dalam negeri enggak pernah dikenakan pajak PPN. Karena itu harga jual di Indonesia menjadi murah. “Ketika masuknya kan enggak bayar PPN enggak ada PPN masukannya,” ujarnya.
Menurut Redma, bobolnya otoritas Bea Cukai ini tidak saja merugikan negara, karena pemasukan negara menjadi berkurang. Di sisi lain, kata Redma, gara-gara oknum Bea Cukai tersebut, pelaku industri, termasuk para karyawan, menjual harga tekstil di bawah harga produksi. Opsi ini dilakukan agar harga bisa kompetitif di pasar.