Jakarta, Indonesiawatch.id – Baru-baru ini, Direktur Utama Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri mengatakan bahwa penurunan laba akibat kondisi global, menjadi penyebab utama penggabungan subholding Pertamina.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, menilai pernyataan Simon tersebut keliru. Pasalnya, pembentukan holding dan subholding memang bermasalah dari awal pembentukannya.
“Menurut bacaan kami, Anda [Simon Mantiri] ditugaskan oleh Presiden untuk membenahi Pertamina yang telah terlanjur rusak yang merupakan warisan pemerintah Jokowi yang saat kampanye 2014 telah berjanji akan membuat Pertamina bisa mengalahkan kinerja Petronas, faktanya malah berkebalikan, malah terjadi penjarahan di Pertamina” ungkapnya, (14/9).
Yusri mengatakan bahwa pembentukan Holding dan Subholding Pertamina pada tahun 2020 oleh Menteri BUMN Erick Thohir, sudah pernah ditolak keras oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
“Bahkan sebagai bentuk penolakan FSPPB saat itu, dilakukan dengan mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum oleh Menteri BUMN di PN Jakarta Pusat sejak 20 Juli 2020 lalu,” beber Yusri.
Bahkan, tambah Yusri, Presiden FSPPB Arie Gumelar dengan Ketua Umum Serikat Pekerja PLN M Abrar Ali pada 16 Agustus 2021 membuat pernyataan bersama kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan pembetukan Holding – Subholding PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) serta IPO terhadap anak-anak Perusahaannya.
“Sejumlah alasan penolakan yang disampaikan oleh Serikat Pekerja mulai dari ketidak efisienan, duplikasi fungsi, transfer pricing dan menghambat sinergi serta daya saing, hingga potensi hilangnya kedaulatan penguasaan dan pengelolaan energi dari perspektif konstitusi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Namun alasan-alasan serikat pekerja itu malah diabaikan oleh pemerintah saat itu,” ungkap Yusri.
Yusri mengatakan, FSPPPB berharap saat itu proses bisnis di Pertamina terintegrasi dari hulu ke hilir secara transparan dan akuntable menyelaraskan rantai pasok efisien dalam kerangka besar menuju “One Pertamina”.
“Namanya penguasa otoriter, tetap saja saat itu mengabaikan semua suara-suara kebenaran yang tulus serta memang memahami kondisi nyata yang dihadapi dalam proses bisnisnya oleh pekerja Pertamina dan PLN yang sudah puluhan tahun mengabdi dari bawah,” ujarnya.
Menurut Yusri, Pemerintah malah lebih percaya pada suara direksi bergaya mentereng dengan status’anak kos’ daripada suara pekerja Pertamina. “Terbukti sebagai tuan rumah, sekarang akibatnya terungkap hampir semua anggota Direksi Holding- Subholding Pertamina dijarah berselemak kasus korupsi sistemik, masif dan terstruktur,” ulas Yusri.
Dengan kondisi seperti ini, Yusri mempertanyakan ihwal yang bertanggungjawab atas kerugian yang akhirnya diderita Pertamina. “Siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita Pertamina saat ini?,” kata Yusri.
[red]











