Penulis Opini: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Jakarta, Indonesiawatch.id – Sudah bertahun-tahun negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif impor Trump berjalan tanpa kepastian. Tarif tinggi yang diberlakukan sejak era Presiden Donald Trump melalui kebijakan “Section 301” masih membebani ekspor Indonesia.
Padahal beberapa negara lain, termasuk Cina, berhasil mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif mereka secara signifikan. Pertanyaannya, mengapa Indonesia gagal meniru keberhasilan Cina?
Apa sebenarnya yang membuat Cina bisa melakukan negosiasi dengan sangat efektif, sementara Indonesia hanya menunggu di pinggir lapangan global, berharap belas kasih negara maju?
Negosiasi Dagang Adalah Permainan Catur, Bukan Permainan Engklek
Negosiasi perdagangan internasional ibarat permainan catur. Setiap langkah harus strategis, penuh perhitungan, dan terintegrasi. Sayangnya, Indonesia masih memainkannya seperti permainan Engklek Melompat: hanya melompat-lompat tanpa rencana besar, mudah ditebak, dan mudah dimatikan langkahnya.
Cina mampu menurunkan tarif melalui Phase One Deal karena mereka memahami bahwa negosiasi dagang bukan sekadar soal permohonan penurunan tarif.
Mereka menyiapkan paket kesepakatan komprehensif, memiliki daya tawar yang beda dan menawarkan pembelian produk AS khususnya teknologi sebagai trade-off atas penurunan tarif sektor industrinya.
Pendekatan barter strategis inilah yang tidak pernah dilakukan Indonesia.
Rumus Masalah: Daya Tawar Indonesia Lemah dan Strateginya Terfragmentasi
Jika kita rumuskan masalahnya, maka akar persoalan Indonesia adalah daya tawar yang lemah dan strategi negosiasi yang terfragmentasi. Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar US$20-30 miliar per tahun, jauh dibandingkan Cina yang mencapai US$500 miliar.
Artinya, AS memiliki ketergantungan impor pada Cina yang jauh lebih tinggi, memberi leverage besar pada negosiasi mereka.
Namun bukan hanya soal ukuran perdagangan. Cina menjalankan negosiasi sebagai state grand strategy. Mereka menyiapkan data mikro dan makro rinci, memahami titik lemah supply chain AS, dan menawarkan kompensasi yang menarik.
Indonesia sebaliknya hanya meminta belas kasihan dan membawa argumen moral: kita negara berkembang, kita membutuhkan penurunan tarif. Sayangnya, dalam negosiasi global, moral tidak cukup –hanya kekuatan tawar dan strategi yang menentukan hasil.
Bayangkan kita ingin membeli mobil. Tidak cukup hanya mengatakan, “Pak, kasih diskon dong, saya langganan di sini.” Penjual mobil akan menanggapi dengan senyum sopan, tetapi diskon besar tak akan diberikan.
Namun jika kita datang membawa paket, “Pak, saya beli dua mobil, satunya untuk perusahaan, satunya untuk pribadi, dan saya rekomendasikan dealer ini ke kantor-kantor mitra kami,” maka diskon signifikan bisa diperoleh.
Begitu pula dalam negosiasi dagang. Indonesia selama ini hanya meminta “diskon tarif” tanpa menawarkan insentif konkret bagi AS. Negara lain, seperti Cina, datang dengan paket pembelian besar yang secara ekonomi dan politik menguntungkan AS, sehingga penurunan tarif menjadi bagian dari kesepakatan win-win.
Mengapa Strategi Indonesia Selalu Gagal?
Strategi negosiasi Indonesia selama ini terlalu commodity-based. Kita hanya menawar karet, tekstil, mineral jarang, atau sawit. Padahal negara maju menginginkan sesuatu yang lebih strategis.
Selain itu, negosiasi kita terpecah di banyak kementerian dengan kepentingan sektoral masing-masing. Kementerian Perdagangan fokus pada market access, BKPM fokus investasi, Kementerian Koordinator fokus koordinasi yang seringkali justru menambah kerumitan.
Belum lagi Dubes Indonesia di AS masih kosong. Ini bila kita mau melakukan negosiasi kembali pasti hasilnya akan sama. Ironisnya, negosiasi ini seringkali dipimpin oleh menteri yang reputasi negosiasinya buruk seperti Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani.
Negosiasi Airlangga dalam mempertahankan Ketua Golkar saja gagal, apalagi dalam konteks global. Sri Mulyani juga tidak memiliki “bargain” yang bagus di pemerintahan Trump. Pernyataan Sri Mulyani selama ini dianggap pro kepada musuhnya politik Trump, Partai Demokrat AS.
Tetap memilih Airlangga dan Sri Mulyani sudah pasti tidak akan membuahkan hasil yang lebih baik. Patut diingat bahwa negosiasi dagang sangat strategis sehingga tidak bisa dijadikan agenda sampingan yang dipimpin oleh orang lama dengan reputasi yang buruk.
Indonesia Butuh Tim Baru, Strategi Baru dan Tim Negosiasi yang Benar-Benar Fokus
Negosiasi perdagangan harus dipimpin oleh tim negosiasi nasional baru yang kredibel, profesional, dan fokus penuh pada kepentingan nasional.
Tim ini sebaiknya langsung berada di bawah Presiden, dengan satu komando strategis, bukan sekadar forum koordinasi lintas kementerian. Selain itu, pendekatan negosiasi Indonesia harus diubah total.
Jangan lagi menawar diskon tarif komoditas tunggal. Siapkan package deal negotiation yang menawarkan insentif konkret bagi AS.
Notes: Opini atau tulisan ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis











