Jakarta, Indonesiawatch.id – Selama 3,5 tahun, dari 18 Februari 2021 – 21 Agustus 2024, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) tak pernah turun. Bahkan BI Rate sudah naik 275 basi poin (bps), dari 3,5% menjadi 6,25%.
Padahal sejak 21 Juni 2023, status pandemi Covid-19 sudah dicabut. Alih-alih turun, sejak pencabutan pandemi, suku bunga BI malah naik 50 basis poin (bps).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manap Pulungan menilai karena ulah Dewan Gubernur BI tersebut, ekonomi menjadi lesu. Kondisi ini bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pasalnya, suku bunga tinggi dapat menghambat kredit, sehingga penyerapan tenaga kerja bisa menurun. Kondisi ini berdampak pada konsumsi masyarakat yang lesu.
“Kita kan di tahun 2022 itu suku bunga 3,5% sekarang 6,25%. Sudah terlalu ketat ekonomi. Kalau nggak turun-turun, apa yang bisa mem-boosting konsumsi,” ujarnya kepada Indonesiawatch.id, beberapa waktu lalu.

Peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan.
Menurutnya, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan konsumi dan belanja pemerintah untuk menggenjot ekonomi.
Baca juga:
Ekonom Bhima Yudistira Menyayangkan Respon Menko PMK ketika Banyak Kelas Menengah Jatuh Miskin
Kontribusi paling besar terhadap terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih berasal dari pengeluaran rumah tangga, yakni sekitar 50an persen.
“Kan nggak mungkin belanja pemerintah semua. Moneter ini juga harusnya bisa berperanlah [dalam pertumbuhan]. Jangan seenaknya saja,” ujarnya mengomentari rezim moneter pro stabilitas dibandingkan pertumbuhan.
Abdul mengatakan pengetatan BI Rate juga mempengaruhi kegiatan ekspansi bisnis, karena produksi yang turun efek dari permintaan yang lesu. Nah, jika konsumsi rumah tangga tidak maksimal, pertumbuhan ekonomi bisa terseok-seok.
Baca juga:
Eks Menkeu Jokowi Sebut Air Minum Galon Buat Orang Miskin, Ekonom PEPS: Tidak Masuk Akal!
“Makanya BI jangan susah-susah turunin suku bunga. nahan atau naikin suku bunga. Potong saja, dulu suku bunganya. Jangan hanya memperhatikan dirinya sendiri. Dia [BI] mempertahankan suku bunga pengennya,” ujarnya.
Menurut Abdul, pada April 2024 misalnya, sempat terjadi gejolak ekonomi global. “Tapi hanya Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan, kan aneh. Orang negara lain tidak menaikkan suku bunga acuan,” ujarnya.
Sayangnya, ketika BI menaikkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6% di April 2024, ternyata nilai Rupiah tidak membaik.
“Rupiah juga nggak baik-baik saja. Tetap saja depresiasi 8% sampai 9%. Sementara negara lain misalnya kayak Thailand, Malaysia, mereka depresiasi, tapi tidak sedalam Indonesia. Padahal mereka tidak menaikkan suku bunga acuannya,” ujarnya.
Keberadaan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) di tengah pengetatan BI Rate, turut menyedot uang dari perbankan.
“Ini semakin berat. Jadi duitnya nggak mutar. Di BI itu punya namanya SRBI. Itu salah satu instrumen bagi bank menempatkan likuiditas yang berlebih. Itu suku bunganya tinggi,” ujarnya.
Baca juga:
Dirut Pertamina Kecele, Awalnya Sempat Puji Deal Kontrak Suplai LNG PGN dengan Gunvor
Akibatnya, kata Abdul, perbankan lebih tertarik memarkir likuiditasnya di Bank Indonesia daripada mengucurkannya ke sektor konsumsi dan produksi.
Bersambung ke halaman selanjutnya