Peristiwa di atas merupakan penggalan pengalaman SRC ketika bertugas di Aceh. Pengalamannya sebagai agen intelijen TNI dan BIN, dituangkannya dalam buku berjudul Intel Juga Manusia. Selain peristiwa di atas, SRC juga pernah punya pengalaman setelah status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dicabut.
Saat itu, SRC pernah terjaring razia oleh anggota GAM di Meunasah Blang Kandang Lhokseumawe. Saat itu dia sedang naik bis dan bisnya dihentikan anggota GAM. Anggota GAM memeriksa semua kartu indentitas para penumpang, termasuk SRC.
Ketika melihat KTP SRC dari jakarta, anggota GAM sempat curiga. SRC langsung menjelaskan bahwa dirinya adalah wartawan yang sedang bertugas di Aceh. “Tugas di Aceh untuk memberitakan ke dunia tentang perang Aceh. Jika dilarang masuk, tidak ada kesempatan GAM dikenal di dunia,” kata SRC seperti tertulis di halaman 98.
Banyak lagi pengalaman tugas SRC yang terungkap di buku tersebut. Sebagai agen intelijen, SRC sering melakukan pendekatan dengan kemanusiaan, tanpa bedil. SRC dan pasukannya, membangun semangat perdamaian dari akar rumput.
SRC bertugas di Aceh selama 18 tahun. Pertama kali terjun ke Aceh sejak tahun 1996 sampai purna tugas di Aceh, terurai dalam bukunya, Intel Juga Manusia.
Buku ini berisi 7 bagian (bab). Uniknya, setiap bagian buku selalu diawali dengan tulisan puisinya. Setiap puisi, memiliki konteks yang sama dengan isi cerita setiap bagian. Pada bagian 1 misalnya, diawali dengan puisi berjudul, Murka Allah.
Puisi tersebut memiliki kesamaan makna dengan isi tulisan di bagian 1, yang menceritakan tentang tsunami yang melululantahkan bumi Aceh. Pada bagian kedua, mengenai Kesepakatan Damai Aceh, Seberkas Harapan, Sepenggal Kecemasan.
Bagian kedua ini diawali dengan tulisan sebuah puisi berjudul Merdeka Rasa Terjajah. Pada bagian kedua ini, SRC menuliskan tentang proses mediasi GAM dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia.
SRC juga menceritakan tentang terbentuknya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Aceh (LPMA). Lembaga ini menjadi sarana untuk memberdayakan eks kombatan GAM. Sehingga eks kombatan GAM memiliki keterampilan dan bisa mandiri.
Pada Bagian 3, mengenai Periode Konflik Mahalnya Pelajaran Berbangsa. Pada bagian ini, SRC mengawalinya dengan tulisan puisi berjudul, Kalau Bisa Kompak Ngapain Harus Konflik?. Bagian 3 buku ini menceritakan tentang hal yang lebih personal tentang SRC.
Misalnya awal mula Radjasa bertugas di Aceh. Dia dan pasukannya menggunakan cover wartawan hingga LSM ketika bertugas di Aceh. Lalu SRC menceritakan perkenalannya dengan Gumarni, yang juga mantan kombatan GAM.
SRC juga menyinggung tentang adanya friksi di internal TNI pasca status DOM Aceh dicabut Presiden B. J. Habibie ketika itu. Karena kondisi tersebut, SRC menceritakan dirinya pernah dituduh beroperasi tanpa surat perintah operasi. “Ada pertarungan di internal TNI AD, baret merah dan non baret merah,” tulis SRC di halaman 109 – 110.
Pada bagian 4, mengenai Angin Panas Demokrasi Menerpa Damai. Pada bagian ini, SRC mengawalinya dengan tulisan puisinya berjudul, Kampanye. Pada bagian ini, SRC banyak menceritakan tentang dinamika Pilkada Aceh 2006. Saat itu pemenangnnya adalah, Irwandi Yusuf.
Pada Bagian 5 yaitu tentang Kerikil Konflik dalam Sepatu Damai. SRC menyisipkan puisinya berjudul Bangsa Tangguh. Pada bagian ini, SRC menceritakan tentang kecurigaan beberapa pihak di internal TNI terhadap anggota TNI lain yang memiliki kedekatan dengan eks kombatan GAM.






