Jakarta, Indonesiawatch.id – Ketua Umum (Ketum) Serikat Pekerja Nusantara (SPN) Suyanto dan Ketum Serikat Pekerja Solusi Bangun Indonesia (SPSBI) Kemas M. Ridzwan mendaftarkan gugatan perselisihan tentang keberlakuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2020-2022 PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) Tbk dengan Nomor Perkara 232/Pdt.G.Sus/PHI 2025 di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur, Kemayoran, Jakarta pada Selasa, 19 Agustus 2025.
Ketum SP SBI Kemas M. Ridzwan mengatakan bahwa PKB 2020-2022, PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SBI), berlaku sejak 1 Februari 2020. Sebelum masa keberlakuan PKB 2020-2022, PT SBI habis, para pihak telah melakukan perundingan pembaharuan PKB, dengan terlebih dahulu menyepakati Tata Tertib Perundingan PKB.
Namun, sampai dengan batas waktu yang telah disepakati dalam Kesepakatan Tata Tertib Perundingan PKB telah terlampaui/terlewati, belum ada kesepakatan PKB baru. Dikarenakan belum ada kesepakatan PKB baru, PT SBI tidak mengakui adanya pemberlakuan PKB hingga saat ini.
Padahal, di dalam PKB 2020-2022, PT Solusi Bangun Indonesia Tbk telah ditentukan pada Pasal 72 ayat (4) “Selama belum tercapai Perjanjian Kerja Bersama yang baru setelah berakhirnya Perjanjian Kerja Bersama ini, maka Perjanjian Kerja Bersama yang lama beserta ketentuan ketentuannya akan tetap berlaku hingga tercapainya Perjanjian Kerja Bersama yang baru.
“Hal ini sejalan dengan ketentuan Permenaker Nomor 28 Tahun 2014,” ujar Kemas M. Ridzwan dalam keterangannya kepada awak media pada 19 Agustus 2025.
Ia menjelaskan PKB tersebut sudah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga PKB menjadi ketentuan yang mengikat Serikat Pekerja dan Perusahaan. “Setelah itu, sejak 2023 hingga 2025, perusahaan itu mengeluarkan aturan-aturan yang banyak menyalahi isi PKB yang berdampak kepada benefit (kesejahteraan) dari karyawan. Itu yang kami merasa dirugikan,” tuturnya.
Menurutnya, berdasarkan regulasi ketika PT SBI di bawah PT Holcim Indonesia diakuisisi oleh Semen Indonesia Grup (SGI) seharusnya terjadi proses cut-off (pemberhentian). Namun, hal tersebut diabaikan manajemen perusahaan.
“Jadi, perusahaan ada kekeliruannya mungkin, dari zamannya PT Holcim Indonesia tahun 2019 ke PT SBI yang diambil oleh Semen Indonesia Grup (SIG) itu kita tidak di-cut-off, sehingga hal tersebut yang salah satu menjadi poin penting dan krusial karena PKB di SIG dan PKB yang eks Holcim di SBI itu secara benefit ada perbedaan,” Ridzwan menjelaskan.
Menurutnya, pekerja atau karyawan dipaksa mengikuti PKB baru di SIG yang benefitnya lebih rendah. Pekerja di PT SBI tunduk pada PKB yang telah diberlakukan untuk seluruh karyawan PT SBI. Ridzwan menambahkan, serikat pekerja dengan manajemen SBI sudah melakukan mediasi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI melalui Direktorat Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengupahan Kemnaker RI.
Karena tidak tercapai kesepakatan, perkara berlimpah ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di PN Jakarta Pusat. “Kami dari SPSBI mengharapkan apa yang kami sampaikan di sidang pertama ini, itu sudah memenuhi persyaratan-persyaratan legal standing sudah terpenuhi, sehingga ke depan langkahnya tinggal pembacaan gugatan,” ujarnya.
Ridzwan menyebut terdapat sejumlah kerugian materi yang telah dikalkukasi oleh pihak pekerja termasuk upah yang sejak 2020 belum pernah mengalami kenaikan. “Kemudian, terakhir tentang penghargaan masa kerja yang diberikan sudah tidak sesuai dengan PKB. Kerugian imateril kita tidak bisa menghitung tapi itu sangat membebani secara psikologis bagi kawan-kawan pekerja di seluruh Indonesia,” pungkasnya.
Diketahui, gugatan perselisihan tentang keberlakuan PKB 2020-2022 PT SBI sudah melalui sidang perdana dengan Nomor Perkara 232/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Jkt Pst. Ketum SPN Suyanto berharap perselisihan tersebut bisa diselesaikan dengan cara damai meski gugatan sudah bergulir di pengadilan.
“Kami masih sangat terbuka untuk membuka ruang mediasi, sehingga terjadi jalan tengah buat kita,” ujar Suyanto dalam keterangan resminya. Ia menyayangkan tidak hadirnya pihak manajemen PT SBI selaku pihak tergugat dalam sidang perdana ini.
Suyanto menggarisbawahi perusahan penting mengakui keberlakuan PKB dan mencabut kembali kebijakan-kebijakan yang merugikan pekerja. Ia berharap PKB yang lama tetap diberlakukan sampai ada PKB yang baru sesuai ketentuan Permenaker Nomor 28 Tahun 2014.
“Karyawan berharap agar PKB ini diberlakukan karena sudah ada pelanggaran-pelanggaran yang sangat merugikan karyawan seperti hak promosi jabatan, penghargaan masa kerja yang disesuaikan oleh kebijakan mereka dan tidak masuk akal menurut kami karena tidak sesuai PKB-nya,” ucap Suyanto.
Aduan serikat pekerja menekankan pentingnya penerapan regulasi dalam proses akuisisi dan pembaruan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Serikat pekerja menyampaikan bahwa perlindungan hak harus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan mekanisme aturan yang berlaku agar hak-hak pekerja tetap terlindungi.
Dikabarkan, serikat pekerja di SBI telah menyampaikan aduan terkait dugaan pelanggaran PKB oleh manajemen ke Komisi VI DPR RI pada 17 Februari 2025, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan DPR.
Kementerian Ketenagakerjaan mengambil sikap tegas dengan menginstruksikan manajemen SBI mematuhi peraturan ketenagakerjaan dan berunding untuk mencapai kesepakatan PKB yang saling menguntungkan.
Kasus ini mencuat ke publik pada Desember 2024 di mana serikat pekerja di lingkungan PT SBI dan anak perusahaannya, mengungkap dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang diduga dilakukan pihak manajemen PT SBI.
Pelanggaran tersebut mencakup usulan perubahan PKB yang dianggap merugikan pekerja dan penghapusan ketentuan kompensasi serta manfaat bagi karyawan. Salah satu pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dipersoalkan berupa berupa upah karyawan yang seharusnya naik setahun sekali, tetapi justru tidak naik atau tidak ada kenaikan gaji sejak 2019.
Selanjutnya, pekerja dengan status PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dibedakan benefit dan kesejahteraannya. Padahal dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), kompensasi MPP (masa persiapan pensiun) yang dipekerjakan kembali seharusnya 1 kali gaji pokok dikurangi menjadi 70 persen.
[red]











